Sisi Kimia di Balik Rasa Pedas Cabai

Cabai merupakan salah satu tanaman yang sering digunakan sebagai bumbu masakan, termasuk di Indonesia. Bagi kebanyakan orang, rasa pedas menjadi unsur yang penting dalam cita rasa masakan. Walaupun rasa pedas itu akan menimbulkan sensasi panas di lidah dan menyebabkan mata berair, tetapi dengan sebab itulah yang menjadi alasan seseorang menyukai rasa pedas. Apakah kalian pernah bertanya-tanya dari manakah asal pedas di dalam cabai itu berasal?  Lalu, apakah rasa pedas sama halnya seperti rasa manis dan asin, atau ada penjelasan lain secara ilmiah? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat lebih dalam dari sisi kimianya.

Di dalam cabai, terdapat satu senyawa kimia bernama capsaicin. Capsaicin merupakan senyawa utama yang terdapat di kelompok capsaicinoid dalam tanaman genus Capsicum. Senyawa ini memiliki rumus kimia C₁₈H₂₇NO₃ dengan sifat kelarutan yang rendah di dalam air, tetapi akan larut dalam lemak serta mudah rusak melalui proses oksidasi. Jumlah kandungan capsaicin dalam cabai bergantung pada jenis cabai dan tempat tumbuhnya, tetapi umumnya sekitar 0,1 - 1,5%, di mana senyawa ini diproduksi pada bagian plasenta atau tali putih pada cabai. Oleh karena itu, kebanyakan orang yang menganggap bahwa rasa pedas cabai berasal dari bijinya itu kurang tepat, karena biji tersebut hanya tertempel capsaicin dari plasenta yang terhubung ke biji.

Kemudian, alasan capsaicin dapat menimbulkan sensasi panas pada lidah yaitu terdapat pada cara kerjanya. Capsaicin tidak merangsang lidah seperti halnya rasa manis atau asin, tetapi senyawa ini akan mengikat reseptor saraf nyeri di lidah bernama TRPV1 (Transient Receptor Potential Vanilloid 1). TRPV1 dikenal sebagai reseptor protein yang terdapat di ujung saraf sensorik tubuh manusia dan makhluk hidup lainnya. Reseptor ini berfungsi untuk mendeteksi suhu tubuh dan merespons zat kimia yang dianggap “berbahaya” oleh tubuh, terutama capsaicin. Ketika capsaicin menempel lidah dan mengikat reseptor TRPV1, otak akan “ditipu” untuk berpikir bahwa di dalam mulut sedang terjadi rasa panas atau luka, padahal pada kenyataannya tidak ada suhu yang meningkat. Akibatnya, tubuh akan merespons seperti sedang merasa kepanasan, di mana hal ini bisa ditandai dengan mata berair, tubuh yang berkeringat, bahkan akan melepaskan hormon endorfin sebagai obat alami pereda nyeri. 

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa rasa pedas yang ada di cabai itu berasal dari plasenta atau tali putih yang menjadi tempat produksi capsaicin, bukan terletak pada bijinya. Oleh karena itu, apabila seseorang ingin menghilangkan rasa pedas yang ada di cabai, kurang efektif jika mengambil biji yang ada di dalam cabai tersebut. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa pedas bukanlah rasa seperti rasa manis atau asin, melainkan sensasi panas dan nyeri yang disebabkan oleh respons tubuh akibat capsaicin yang mengikat reseptor TRPV1.

Referensi:

Imtiyaz, H., Prasetio, B. H., & Hidayat, N. (2017). Sistem pendukung keputusan budidaya tanaman cabai berdasarkan prediksi curah hujan. Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer, 1(9), 733-738.

Poerwanto, E. (2018). Kajian bioinformatika terhadap Transient Receptor Potential Vanilloid 1 (TRPV1) pada risiko osteoartritis sendi lutut. Majalah Kedokteran UKI, 34(1), 9–25.

Renate, D., Pratama, F., Yuliati, K., & Priyanto, G. (2014). Model kinetika degradasi capsaicin cabai merah giling pada berbagai kondisi suhu penyimpanan. Agritech, 34(3), 330-336.

Terimakasih telah mengunjungi website resmi Himpunan Mahasiswa Kimia FMIPA UNY

0 Komentar