PENDIDIKAN TANPA EKSPRESI

 PENDIDIKAN TANPA EKSPRESI


(sumber : pixabay.com)

Banyak dari kita pasti telah mengenyam pendidikan. Bahkan sedang dalam proses mengenyam pendidikan. Saat kecil pun sebenarnya kita telah melalui proses mengenyam pendidikan. Dahulu kita dilatih untuk merangkak, duduk, dan berjalan oleh orang tua. Hal sekecil itu pun sudah bisa disebut sebagai pendidikan. Lantas apa arti pendidikan yang sebenar-benarnya? Menurut Thompson pendidikan adalah pengaruh lingkungan terhadap individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap dalam kebiasaan perilaku, pikiran, dan sifatnya. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak.

Pendidikan memiliki andil yang sangat besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di Indonesia. Ada dua jenis pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan formal dan non formal. Pada pendidikan formal kita diwajibkan mengenyam pendidikan selama 12 tahun, yaitu dimulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga lulus di tingkat Sekolah Menengah Atas. Sedangkan untuk pendidikan non formal bisa kita dapatkan dalam keseharian kita, seperti menanam sayur atau buah.

Dalam sejarahnya, pendidikan di Indonesia pertama kali diperkenalkan pada masa kolonialisme Belanda. Gubernur Jendral Herman William Deandels adalah tokoh yang pertama kali memperkenalkan sistem sekolah rakyat. Setelah itu hadir sang pembaharu pendidikan Indonesia, yaitu Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara adalah penggagas dari konsep pendidikan Taman Siswa. Melalui pendidikan Taman Siswa, lahirlah konsep momong, among, lan ngemongi yang kemudian dikembangkan menjadi tiga prinsip kepemimpinan di Taman Siswa, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Pada dasarnya konsep-konsep pendidikan itu mengutamakan cinta dan kasih sayang, serta tanpa kekerasan dan pemaksaan yang artinya pendidikan haruslah memanusiakan manusia untuk menjadi manusia yang merdeka tanpa hambatan dan paksaan.

Akan tetapi, praktik yang terjadi sekarang sangatlah jauh berbeda dari konsep Taman Siswa yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara. Konsep Taman Siswa seolah-olah hanya dipandang sebelah mata tanpa adanya penerapan dalam sistem pendidikan Indonesia. Sistem pendidikan yang kita rasakan pada hari ini bukanlah hasil dari sebuah cita-cita mulia Taman Siswa, melainkan sistem pendidikan yang cenderung bersifat kolonialis. Siswa dituntut untuk menguasai seluruh mata pelajaran yang diajarkan gurunya di sekolah. Bahkan guru juga dituntut untuk bisa membuat siswanya menguasai mata pelajaran yang diampunya. Sungguh memprihatinkan sekali sistem pendidikan Indonesia saat ini. Praktik pendidikan seperti ini telah terjadi di banyak atau di seluruh sekolah-sekolah di bumi pertiwi. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar sekaligus mengolah minat dan bakat siswa kini berubah menjadi sekolah yang membelenggu minat dan bakat siswa. Padahal setiap siswa pasti memiliki minat dan bakatnya tersendiri, entah itu dalam bidang akademik, seni, olahraga, atau yang lainnya. Terlebih saat ini timbul paradigma di masyarakat mengenai tingkat atau tolak ukur dari kepintaran orang yang dirasa dapat dinilai hanya dari satu sudut pandang saja, tanpa peduli sudut pandang yang lain. Namun, pada hakikatnya semua orang itu mempunyai minat dan bakat di bidangnya masing-masing, tanpa perlu menguasai semua mata pelajaran di sekolah.

Oleh karena itu semua elemen harus turut serta bergerak dalam rangka memperbaiki sistem pendidikan yang sedikit melenceng ini. Mulai dari pemerintah yang harus selektif dalam membuat kebijakan, guru yang cukup memberi materi dan mengajarkannya kepada siswa tanpa perlu memaksanya, serta masyarakat yang harus selalu berpikiran terbuka tentang sejatinya pendidikan itu sendiri.

 

Referensi :

https://www.kompasiana.com/rahmadwi08/sejarah-pendidikan-di-indonesia/

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi website resmi Himpunan Mahasiswa Kimia FMIPA UNY